Bisnis.com, JAKARTA — Struktur produksi komoditas ekspor Indonesia belum selaras dengan struktur impor dunia, sehingga ambisi Tanah Air menjadi trade hub Asean pada 2020 semakin jauh panggang dari api.
Seperti diketahui, berdasarkan data Trademap dan Kementerian Perdagangan, struktur permintaan pasar impor dunia terdiri atas 81% produk manufaktur dan 19% produk primer. Adapun, struktur produk ekspor Indonesia terbagi oleh 53% produk manufaktur dan 47% produk primer.
Dalam hal ini, Indonesia relatif tertinggal dari negara ekonomi utama Asia Tenggara lainnya seperti Malaysia, Singapura, Vietnam dan Thailand. Pasalnya negara-negara tersebut rata-rata memiliki struktur ekspor yang lebih dari 70% didominasi oleh produk manufaktur.
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kemendag Kasan Muhri mengatakan, situasi tersebut membuat pemerintah berupaya menempuh sejumlah cara. Salah satunya, dengan melonggarkan impor barang modal yang dibutuhkan oleh industri berbasis ekspor.
“Salah satunya mendorong tekstil. Kita sangat terbuka dengan produk seperti kapas, yang baru-baru ini kita jalin komitmen peningkatan impornya dengan Amerika Serikat. Kita juga sedang jajaki revisi [aturan] impor bahan baku besi dan baja yang jenisnya tidak dapat dicukupi domestik ,” ujarnya Selasa (14/8/2018).
Di sisi lain, dia mengklaim, pemerintah terus mencari cara agar produk ekspor Indonesia bisa masuk ke dalam mata rantai pasok dunia (global supply chain), dengan mendorong ekspor produk-produk bernilai tambah.
Terpisah, ekonom dari Universitas Indonesia Fithra Faisal menyebutkan bahwa Indonesia seharusnya mencontoh Vietnam yang unggul dan agresif di pasar global. Pasalnya, produk eskpor mereka telah memasuki golongan produk high-skill & berbasis teknologi.
“Indonesia masih terjebak pada ekspor produk mentah atau bahan baku. Proses industrialisasi dalam negeri cukup lambat dalam bertumbuh. Alhasil, struktur ekspor kita masih relatif tertinggal dari negara Asean lain ketika masuk dalam rantai pasok dunia,” katanya.
Kegagalan proses industrialisasi selama ini relatif tertutupi oleh ekspor Indonesia selama 50 tahun terakhir yang ditopang produk barang modal. Alhasil, surplus neraca perdagangan yang selama ini terjadi lebih disebabkan oleh kenaikan harga komoditas.
Sementara itu, lanjutnya, negara lain yang tidak memperoleh berkah dari harga komoditas, lantaran bukan negara penghasil produk tersebut, justru berpacu untuk menghasilkan barang bernilai tambah.
Terpisah, Ketua Gabungan Pengusaha Eksportir Indonesia Benny Soetrisno menilai, Indonesia tidak boleh terlena dengan kenaikan peringkat di sejumlah kategori yang disematkan oleh lembaga dunia.
“Perlu dicatat, peringkat Indonesia di trading across borders versi Bank Dunia memburuk. Indonesia turun dari peringkat 54 pada 2014 menjadi 112 pada 2018,” katanya.
Untuk itu, dia menilai, ambisi pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai trade hub Asia Tenggara tidak akan terlalu berdampak kepada ekspor Indonesia secara keseluruhan. Selain karena infrastrukturnya yang sangat jauh dari siap, struktur ekspor RI pun masih belum cukup untuk menyaingi negara-negara tetangga.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel