Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

OPINI: Kepak Sayap Pertumbuhan

Momen pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia adalah channel strategis untuk menampilkan profil dan prospek perekonomian Indonesia. Manfaat ekonomi jangka pendek yang diperoleh selama penyelenggaraan acara harus disusul dengan manfaat jangka panjang
Ilustrasi/indonesia.travel
Ilustrasi/indonesia.travel

Bisnis.com, JAKARTA – Pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia yang akan berlangsung pada pertengahan Oktober nanti di Indonesia mengingatkan kita pada metafora tentang kepak sayap kupu-kupu yang pernah dicetuskan Edward Norton Lorenz. Mengapa bisa demikian?

Pada 1972, Edward Norton Lorenz, seorang peneliti di bidang meteorologi lulusan Massachusetts Institute of Technology (MIT), Amerika Serikat - memberikan ceramah ilmiah dalam pertemuan ke-139 American Association for Advancement of Science (AAAS). Ceramah yang membahas model peramalan cuaca tersebut kemudian dikenal luas dan menjadi dasar teori kekacauan.

Lorenz meyakini bahwa perubahan kecil pada kondisi awal dapat mengubah secara drastis sifat sebuah sistem dalam jangka panjang. Pemikiran tersebut berkembang menjadi metafora ‘efek sayap kupu-kupu’ yang memungkinkan terjadinya badai topan di Texas akibat kepakan sayap kupu-kupu di rimba Amazon.

Sama halnya dengan pandangan Lorenz di atas, pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia yang akan melibatkan sekitar 3.500 delegasi dari 189 negara dan lebih dari 5.000 peserta serta 1.000 perwakilan media tersebut diharapkan akan memiliki ‘efek sayap kupu-kupu’ bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Resep Pertumbuhan

Serangkaian kegiatan pembuka bertajuk Voyage to Indonesia mengusung tema Keberagaman dan Potensi yang Dimiliki Indonesia. Di sinilah letak kesempatan Indonesia untuk mempromosikan keunggulan komparatif yang dimilikinya. Dalam pemikiran ekonomi klasik yang antara lain dipelopori David Ricardo pada abad ke 19, setiap negara diajarkan untuk berdagang barang dan jasa yang dihasilkan secara lebih efisien dibandingkan negara lain.

Pendekatan yang kemudian dibakukan sebagai Ricardian Model ini melandasi teori perdagangan global dengan asumsi adanya perbedaan tingkat produktivitas yang dimiliki setiap pekerja.

Bagaimanapun, globalisasi telah mengarah pada konvergensi tingkat pendapatan negara-negara di dunia. Keuntungan angin buritan (tailwind) dalam bentuk bonanza komoditas, pembiayaan eksternal yang murah dan berlimpah, serta pesatnya pertumbuhan negara-negara maju berhasil dikonversi ke dalam bentuk konsumsi dan investasi domestik oleh banyak negara berkembang.

Namun momen tersebut bersifat periodik. Ekonom Harvard Dani Rodrik telah memperkirakan bahwa pertumbuhan yang bergantung pada arus modal dan bonanza komoditas cenderung berumur pendek. Lantas bagaimana?

Harus diakui tidak ada satu resep universal yang dapat menjanjikan pertumbuhan ekonomi untuk seluruh bangsa. Tetapi, ada tiga parameter yang dapat menjelaskan pertumbuhan ekonomi setiap negara: populasi, modal, dan ide.

Populasi akan menentukan seberapa banyak pekerja usia produktif yang dimiliki, sedangkan modal dan ide akan menentukan setinggi apa produktivitas pekerja tadi untuk menciptakan pertumbuhan. Sampai di sini, Paul Romer, ekonom Stanford University, menambahkan, pertumbuhan ekonomi diperoleh dari resep yang lebih baik, tidak semata-mata dari seringnya memasak. Oleh karena itu pemerintah akan berperan seperti temperatur oven yang menjaga suhu memasak agar resep tadi tidak rusak.

Setelah keuntungan angin buritan yang berakhir sejak awal 2015, yang lebih dibutuhkan perekonomian negara berkembang untuk menghasilkan pertumbuhan berkesinambungan adalah kebijakan berorientasi produksi yang mendorong perubahan struktural dan memacu lapangan kerja pada sektor-sektor perekonomian baru.

Dalam konteks ini, pemerintah sepertinya memanfaatkan Bali sebagai lokasi penyelenggaraan untuk menggunakan sektor pariwisata domestik sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi. Terlebih, perekonomian Bali dan Nusa Tenggara masih tumbuh di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal pertama 2018.

Memanfaatkan Momentum

Patut dicermati bahwa momentum pertemuan ekonomi dan keuangan terbesar di dunia tersebut akan mendorong pertumbuhan ekonomi untuk dua jangka waktu.

Pertama, kehadiran 12.000 sampai dengan 15.000 tamu undangan selama kegiatan tersebut akan berdampak pada kenaikan belanja barang dan jasa dalam jangka pendek yang terdiri dari tiga kelompok, yaitu hotel dan restoran; transportasi dan komunikasi; dan barang sandang, termasuk pakaian dan aksesoris fesyen.

Kenyataannya, kelompok pertama di atas juga mulai sering ditemukan dalam keranjang konsumsi masyarakat Indonesia saat ini sejalan dengan perilaku affluence dalam menikmati waktu luang.

Kedua, Indonesia akan berpartisipasi dalam diskusi terkait dengan perbaikan iklim investasi, inklusivitas keuangan, serta bauran kebijakan moneter dan fiskal yang mendukung pembangunan di bidang sumber daya manusia, kelembagaan, dan kapasitas perekonomian.

Kalau pertumbuhan jangka panjang menjadi target pemerintah, pembahasan tersebut akan lebih baik jika tidak hanya memaparkan ilustrasi perekonomian Indonesia saat ini, tetapi juga menampilkan narasi kreatif daya tarik investasi Indonesia.

Belakangan ini, strategi memperbaiki struktur perekonomian yang diusung pemerintah melandaskan diri pada pembangunan infrastruktur. Langkah ini dianggap sebagai strategi ‘sapu jagad’, karena seluruh rantai nilai kegiatan ekonomi sangat bergantung pada kekuatan infrastruktur.

Infrastrukur yang kuat akan menguntungkan Indonesia dalam menghadapi pola kegiatan produksi global yang semakin terfragmentasi di beberapa negara di dalam satu kawasan regional. Dalam pola ini, masing-masing negara berperan dalam jaringan rantai nilai global, sehingga akan sulit bagi sebuah negara yang lemah dalam infrastruktur untuk berproduksi secara efisien.

Situasi lingkungan eksternal memang tidak bersahabat. Yang kini dihadapi Indonesia adalah angin haluan (head wind) yang berpotensi memperlambat perekonomian. The Fed sudah dua kali menaikkan suku bunga acuannya hingga berada pada kisaran 1,75%—2,0%. Keputusan tersebut memicu pembalikan arus modal dan menekan sektor keuangan global.

Di sisi lain, sentimen perang dagang dan isu geopolitik memperburuk tekanan nilai tukar yang dialami oleh hampir semua negara. Untuk menjaga tingkat pertumbuhan (stabilisasi), inflasi; tingkat suku bunga; belanja konsumen; serta persepsi pasar adalah sebagian variabel yang harus dicermati dalam jangka pendek.

Momen pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia adalah channel strategis untuk menampilkan profil dan prospek perekonomian Indonesia. Manfaat ekonomi jangka pendek yang diperoleh selama penyelenggaraan acara harus disusul dengan manfaat jangka panjang sebagaimana metafora ‘efek sayap kupu-kupu’ yang dikemukakan Edward Norton Lorenz.

*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Senin (13/8/2018)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper