Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

LAPSUS: Menimbang Langkah Taiwan Menoleh ke Selatan

Ketika China telah menjelma menjadi raksasa ekonomi dunia, dan kehadirannya di Indonesia banyak dipandang dengan curiga, mengapa kita tidak melirik Taiwan? Hubungan antarnegara, tak melulu dalam belenggu dogma relasi diplomatik.
Implikasi kebijakan New Southbound Policy (NSP) yang diterapkan Taiwan./Bisnis-Erlangga Adiputra
Implikasi kebijakan New Southbound Policy (NSP) yang diterapkan Taiwan./Bisnis-Erlangga Adiputra

Bisnis.com,  JAKARTA – Ketika China telah menjelma menjadi raksasa ekonomi dunia, dan kehadirannya di Indonesia banyak dipandang dengan curiga, mengapa kita tidak melirik Taiwan? Hubungan antarnegara, tak melulu dalam belenggu dogma relasi diplomatik.

Karen Hsu tergopoh-gopoh menyambut kami, sejumlah jurnalis yang berkunjung ke Global Workers’ Upskill Center, terletak di sebuah sudut Kota Taipei, Taiwan. Rupanya, dia sudah agak lama menunggu, tak sabar memamerkan aktivitasnya membina para buruh migran asal Indonesia.

“Ini merupakan salah satu pusat kegiatan kami, mempersiapkan para buruh migran kembali ke negara asal untuk menghadapi perubahan persaingan kerja,” tutur Karen, aktivis Global Workers’ Organization (GWO), sebuah lembaga swadaya masyarakat di Taiwan, Minggu (8/7).

Karen hendak menunjukkan kepada kami ketika puluhan warga negara Indonesia tengah berlatih sejumlah hal, dari menggunting rambut, belajar Bahasa Mandarin, hingga kursus membuat bubble tea.

Pilihan GWO melatih buruh migran cukup beralasan karena saat ini Taiwan mempekerjakan sedikitnya 670.000 orang asal Asia Tenggara. Indonesia, dengan 260.000 buruh migran, saat ini merupakan salah satu kontributor terbesar, bersama Vietnam dan Filipina.

Di Taiwan, rumah tangga dilarang merekrut buruh migran sebagai pembantu, tetapi diperkenankan mempekerjakan buruh migran untuk merawat orang tua dengan gaji sekitar 19.000—22.000 dolar Taiwan (Rp8,8 juta—Rp10,2 juta). Buruh migran juga diperkenankan bekerja di pabrik.

Selain di Taipei, Global Workers’ Organization juga beroperasi di sejumlah kota besar di Taiwan seperti Taichung, Taoyuan dan Kaoshiung. Adapun Up-Skill Center yang mereka dirikan, telah beroperasi sejak 10 September 2017.

Karen lalu membawa kami ke sebuah ruangan yang berisi dua orang buruh migran asal Indonesia sedang berlatih menata rambut. Sri Parwati (34) dan Mufdirin (39) tampak tekun memerhatikan arahan instukturnya.

Sri, yang datang ke tempat kursus dengan naik taksi bersama pria jompo berusia 85 tahun yang dirawatnya, berambisi membuka salon di Pacitan, Jawa Timur, sepulang bekerja di Taiwan.

Ini merupakan tahun kesepuluh baginya bekerja sebagai buruh migran, sekaligus kontrak ketiga, dengan masa berlaku 4 tahun setiap kontrak. “Hari ini majikan mengizinkan saya ke sini dengan membawa orangtuanya. Mereka bahkan yang bayarin taksinya,” tutur Sri.

Adapun Mufdirin adalah pria asal Ponorogo yang baru 3 tahun bekerja sebagai buruh pabrik baut dengan upah 22.000 dolar Taiwan per bulan. “Di kampung, saya biasa gunting rambut saudara. Mau belajar lagi siapa tahu kelak berguna saat sudah pulang ke Indonesia.”

Menurut Karen, para buruh migran bisa mengambil kursus untuk menambah keahlian setiap Minggu, saat mereka libur.

Menurutnya, selain disiapkan agar memiliki keahlian baru untuk membuka usaha setelah tak lagi bekerja di Taiwan, para buruh migran ini potensial menjadi mitra bisnis pengusaha Taiwan.

“Tentu saja setelah buruh migran menerima pelatihan, diharapkan mereka mampu meningkatkan kemampuan profesional sebagai bagian tenaga ahli pengusaha Taiwan yang menjalani bisnis di Indonesia,” tutur Karen.

Pada saat yang sama, di ruangan berbeda, tengah berlangsung kelas Bahasa Mandarin yang diiikuti oleh sejumlah buruh migran asal Indonesia. Mayoritas para peserta kursus bahasa adalah perempuan.

Di ruangan lain, belasan buruh lainnya sedang berlatih meracik bubble tea, minuman ringan yang sedang populer di Indonesia. Selain diajari oleh para ahli, para buruh migran ini juga didampingi relawan GWO asal Indonesia.

Kelas bubble tea cukup riuh. Peserta tidak saja memerhatikan arahan istruktur dalam mencampur air, krim susu, teh, maupun bubble, tetapi juga merekamnya dengan telepon pintar mereka. Peserta juga berdandan cukup modis dan sebagian besar buruh migran perempuan berhijab.

KEBIJAKAN NSP

Entah kebetulan atau tidak, dominasi buruh migran asal Asia Tenggara di Taiwan sejalan dengan ‘kebijakan ekonomi menoleh ke selatan’ pemerintah Presiden Tsai Ing-Wen yang kini berkuasa.

Dikemas dalam jargon New Southbound Policy (NSP), Taiwan kini punya senjata baru untuk menjalin hubungan nondiplomatik yang lebih erat dengan negara-negara mitranya di belahan bumi selatan. Maklum, Taiwan tak memiliki hubungan diplomatik dengan negara-negara itu, termasuk dengan Indonesia.

Hal ini tak lepas dari konflik Taiwan dengan Republik Rakyat China dan kini berada dalam status quo. China menganggap Taiwan adalah salah satu provinsinya yang membelot, sedangkan Taiwan—sering disebut juga Republik China atau China Taipei—menginginkan sebaliknya, berdiri sebagai sebuah negara tersendiri.

Akibatnya, tak banyak negara di dunia ini yang ‘berani’ menjalin hubungan diplomatik dengan Taiwan, menyusul kebijakan keras China yang dikenal dengan One China Policy. Atas tekanan Beijing, sejumlah negara seperti Burkina Faso dan Kostarika bahkan baru saja memutus hubungan diplomatik dengan Taiwan.

Namun, hubungan dagang yang sudah terjalin lama antara Taiwan dan negara-negara di Asia Tenggara tak bisa diabaikan begitu saja.

Secara gepolitik, negara mungkin tidak punya hubungan diplomatik dengan negara lain, tetapi hubungan antarmanusia dan bisnis tidak terlalu mengenal batas negara.

Bruce Chih-yu Chien, salah satu negosiator pada Kantor Kerjasama Perdagangan Taiwan mengatakan negaranya kini mengandalkan kekuatan halus (soft power) dalam menjalin hubungan dengan negara lain, termasuk Indonesia.

“New Southbound Policy tidak ada urusannya dengan politik. Kami berusaha terus mengembangkan kerja sama ekonomi meliputi investasi, perdagangan, pertanian dan usaha mikro kecil & menengah,” tutur Bruce di kantornya.

Negara sasaran dalam kemitraan New Southbound Policy adalah Indonesia, Malaysia, Filipina, Myanmar, Australia, Laos, Brunei Darussalam, Thailand, Singapura, Nepal, Bangladesh, Pakistan, Srilanka, Bhutan, dan Selandia Baru.

Pada tahun lalu, sedikitnya 133 investasi Taiwan ditanam di negara-negara selatan tersebut dengan nilai US$43,68 miliar, melonjak lebih dari setengah (54,52%) dibandingkan dengan investasi Taiwan pada 2016.

Sebaliknya, dari awal 2017 hingga akhir 2019, Taiwan menyetujui 521 investasi dari negara-negara tersebut senilai US$270 miliar.

Di Indonesia, negeri dengan 23,5 juta penduduk tersebut mendirikan Taipei Economic Trade Office (TETO) di Jakarta. Sementara itu, pemerintah Indonesia juga menempatkan Kantor Dagang Indonesia di Taipei, di bawah otoritas Kementerian Perdagangan.

Pada 2017, Indonesia mencatatkan surplus perdagangan terhadap Taiwan hingga US$1,8 miliar per tahun. Angka tersebut berasal dari nila ekspor Indonesia ke Taiwan sebesar US$5 miliar, sedangkan nilai impornya hanya US$3,2 miliar.

Indonesia juga menjadi salah satu pemasok buruh migran terbesar bagi Taiwan, sehingga interaksi antarwarga terjalin erat.

Berdasarkan data TETO, saat ini tak kurang dari 30.000 warga Indonesia menikah dengan warga Taiwan dan sedikitnya 7.000 mahasiswa Indonesia sedang belajar di sejumlah universitas di Taiwan.

Menurut Bruce, New Southbound Policy merupakan strategi Taiwan untuk fokus pada hubungan ekonomi dengan kawasan sekaligus sebagai pengungkit diplomasi dengan kekuatan halus. “Kami juga perlu untuk melakukan diversifikasi struktur ekonomi.”

Dia menambahkan, berdasarkan banyak prediksi, Asia Tenggara akan mengalami pertumbuhan ekonomi bagus pada masa yang depan. “Ini menjadi kesempatan bagi kami untuk memperkenalkan ‘model Taiwan’ dalam sebuah kerja-sama ekonomi yang sama-sama menguntungkan”.

*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Kamis (19/7/2018)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Hery Trianto
Editor : Sutarno

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper