Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Perang Dagang Tidak Pengaruhi Program NSP Taiwan ke Asia Tenggara

Kebijakan luar negeri New Southbond Policy (NSP) milik Taiwan berniat lebih dalam lagi membidik sektor pertanian di Indonesia pada tahun ini. Kebijakan yang berbasis soft-power ini juga disebut-sebut tidak akan mengambil untung dari situasi perang dagang yang terjadi antara China dan Amerika Serikat.
Ilustrasi/Reuters
Ilustrasi/Reuters

Bisnis.com, JAKARTA – Kebijakan luar negeri New Southbond Policy (NSP) milik Taiwan berniat lebih dalam lagi membidik sektor pertanian di Indonesia pada tahun ini. Kebijakan yang berbasis soft-power ini juga disebut-sebut tidak akan mengambil untung dari situasi perang dagang yang terjadi antara China dan Amerika Serikat. 

Direktur Eksekutif Taiwan-Asia Exchange Foundation Alan H. Yang menyampaikan, pembicaraan bilateral terkait perkembangan teknologi pertanian telah dilaksanakan di Taipei, Taiwan, bersama dengan Taipei Economic and Trade Office (TETO) bulan lalu. Dia berharap, bantuan teknologi pertanian yang diberikan di Indonesia dapat disebarkan merata di Tanah Air.

"Integrasi di bidang pertanian [flagship program] merupakan target yang ingin kami capai tahun ini. Kami ingin mencoba menyebarkan kesuksesan model teknologi pertanian ke seluruh Indonesia, tidak hanya di Jawa tapi juga ke Surabaya, Kalimantan, dll. Ini yang kami sebut proyek penting dan kami bekerjasama dengan mitra kami di Indonesia," ujarnya seusai diskusi publik bertajuk Taiwan's New Southbond Policy: Importance for Indonesia and the Region".

Alan menjelaskan, Indonesia termasuk ke dalam negara yang disasar oleh kebijakan NSP, bersama dengan India, Filipina, Thailand, Malaysia, dan Vietnam.

“Taiwan ingin memberikan fasilitas proyek NSP kepada enam negara tersebut. Pasalnya, Taiwan memiliki rasa senasib-sepenanggungan dengan Indonesia secara historis,” katanya.

Oleh karena itu, Alan menegaskan, NSP bukanlah kebijakan yang menyasar keuntungan kerjasama namun lebih kepada pengembangan kedekatan sosial antarnegara, bukan hanya mengubah imej Taiwan di kawasan Asia Tenggara tetapi juga menerima hubungan baik dengan memberikan bantuan yang diinginkan negara-negara di kawasan Asean.

“Sebenarnya kami tidak membandingkan diri dengan One Belt One Road [dari China] karena kami berbeda. Mereka lebih menyasar sektor infrastruktur fisik sementara kami lebih kepada hubungan sosial [social connectivity],” imbuhnya.

Adapun sejauh ini, Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kadin Indonesia Shinta Widjaja Kamdani menjelaskan, Taiwan yang lebih maju di dalam sektor industri, manufaktur, dan teknologi tinggi harus dapat melihat peluang di Indonesia untuk program NSP tersebut. Saat ini, menurutnya, Indonesia sangat membutuhkan produk-produk teknologi, seperti semikonduktor, prosesor, ponsel, dan begitu juga teknologi know-how yang bisa didapat dari Taiwan.

"Seperti diketahui, Indonesia saat ini mulai melakukan reformasi industri [Industri 4.0], dan menurut saya di sinilah Taiwan bisa masuk," ujar Shinta di acara yang sama.

Dia mengingatkan, dalam beberapa waktu terakhir Indonesia dan Taiwan telah sama-sama melakukan pertukaran delegasi bisnis untuk bertukar pikiran. Hal itu diharapkan dapat membuka kesempatan integrasi lebih lanjut yang menyasar area seperti teknologi tersebut.

Adapun sejauh ini, Indonesia dan Taiwan telah berada di dalam hubungan kemitraan yang baik dalam hal perdagangan dan investasi kendati angkanya masih rendah. Indonesia menikmati surplus perdagangan dengan Taiwan hingga hampir US$1 miliar ditopang oleh ekspor komoditas Indonesia seperti batu bara, gas alam, dll. Sementara dari sisi investasi, aliran dana dari Taiwan telah bergerak signifikan atau naik 17,6% pada tahun lalu.

"Sejak 2015, sektor seperti pemrosesan makanan, tekstil, kulit, sepatu, bahan kimia dasar, dan transportasi telah menikmati pertumbuhan investasi dari Taiwan. Tapi yang paling naik signifikan adalah sektor bahan kimia dasar," tutur Shinta.

Namun, investasi Taiwan untuk sektor infrastruktur, konstruksi, utilitas, dan pariwisata masih stagnan sejak 2015. Shinta menekankan, komitmen Presiden Taiwan Tsai Ing-wen untuk menggelontorkan dana sebesar US$3,5 miliar untuk membantu negara-negara yang disasar NSP Taiwan bisa membidik sektor infrastruktur yang sedang bergairah di Indonesia. 

Adapun terkait perang dagang, Alan mengungkapkan, Taiwan tidak tertarik untuk mengambil bagian atau peluang di dalamnya. Pasalnya, dengan terjadi atau tidaknya perang dagang tidak akan mempengaruhi kebijakan NSP pemerintah yang dikenalkan pada 2016 silam.

Wakil Direktur Center for Strategic International Studies (CSIS) Scott Kennedy menyampaikan, di tengah-tengah tensi antara AS dan China, sejatinya Taiwan dan Indonesia dapat juga tertekan karena perang dagang merusak rantai penawaran transnasional jaringan bisnis yang berhubungan dengan China dan AS.

Oleh karena itu, dia menjelaskan, yang dapat dilakukan oleh Indonesia dan Taiwan adalah bersama-sama menyadarkan mereka [China dan AS] bahwa dampak perang dagang telah merugikan negara-negara lain.

“Menurut saya, Indonesia mungkin memliki ketertarikan kuat agar China bisa lebih banyak 'bermain' dan agar perang dagang tidak terlalu lama. Semakin lama perang dagang terjadi, semakin banyak masalah bagi negara lain," ujarnya kepada Bisnis.

Dia juga menekankan, segala kesepakatan perdagangan bebas sangat berguna meskipun tidak akan bisa menghalangi dampak berantai perang dagang. Indonesia, menurutnya, harus dapat meningkatkan lingkungan bisnis dan investasi untuk perusahaan lokal maupun asing.  

“Banyak hal yang dapat dilakukan Indonesia, seperti memperkuat domestik dan hubungan regional. Juga Indonesia harus mengingatkan AS dan China agar tidak terlalu lama berperang dagang,” imbuhnya.

Dia menjelaskan, Indonesia harus dapat menunjukkan kepada AS dan China bahwa konflik di antara mereka sangat buruk bagi yang lain.

“Membuat China dan AS sedikit bersalah merupakan yang paling penting,” ujar Kennedy.

Caranya adalah dengan memberitahukan mereka mengenai kepentingan Indonesia. Menurut Kennedy, Indonesia menjadi penting bagi China dan AS sebagai pasar ekspor mereka dan sumber dari bahan baku dan sumber daya alam. Jadi, AS dan China harus dapat merasakan bahwa Indonesia tidak hanya menonton peperangan dua ekonomi terbesar di dunia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper